web 2.0

GERHANA DI SEPASANG MATA IBU

Cerpen Andri Saptono

Mungkin karena hari lahir ibu yang bertepatan dengan hari proklamasi kemerdekaan yang membuat dirinya istimewa? Ibu lahir satu menit setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan Soekarno. Tentang keistimewaan ibuku, selain hari ulang tahunnya yang selalu ia rayakan bersamaan hari kemerdekaan negrinya ini, ibuku sejak kecil mempunyai bakat yang bisa dikatakan luar biasa bagi warga desa kami. Setidaknya begitulah pengakuan beberapa warga yang telah beberapa kali datang kepada ibu –
dan sering sekali kembali lagi tentu- akan berkata tentang ibuku. Ya, Ibuku seorang paranormal. Ibuku mempunyai kekuatan supranatural. Mereka menggunakan jasa ibu sekedar bertanya bagaiman agar dagangan mereka laris, hari baik apa untuk melaksanakan hajatan, atau bagaimana cara agar bisa membuat suami tetap lengket dan tidak akan jajan di Warung Bulak Adem yang ada di ujung desa –sebuah komplek pelacuran yang sengaja dilegalkan oleh pemerintah daerah kami.
Tentu ramalan ibuku memang tidak selalu tepat atau betul-betul menjadi kenyataan. Dan ia punya jawaban untuk itu. “Aku hanya melihat apa yang bisa kulihat. Aku tak bisa merubah takdir Tuhan.”
Suatu kali ada seorang pelacur yang datang ke rumah. Seperti kuketahui, mereka biasa datang menggunakan jasa ibu agar pemasukan mereka lancar. Atau biar mereka tetap menjadi sang bunga mawar di lokalisasi. Namun kali ini, ibu tidak biasanya menyuruh aku untuk menyuguhkan air minum buat perempuan itu. Hal ini agak janggal. Sebelumnya ibu tidak akan pernah menyuruhku berurusan dengan para pelanggannya. Tapi, aku hanya manut saja.
“Lilik, kuperkenalkan pada tamu istimewa ibu hari ini?”
Perempuan itu tersenyum simpul. Pupil matanya melebar, terkejut dengan tajamnya pujian dari ibuku.
“Lilik,” kataku memperkenalkan diri sambil menjabat tangan perempuan itu.
“Maharani.”
Aku sejujurnya tak tahu maksud ibu dengan memperkenalkan pada salah satu pelanggannya ini. Sampai ketika perempuan itu pergi, ibu mengajakku bicara. Nyata mata ibuku berbinar ketika berbicara.
“Ia akan menjadi istrimu kelak, Lik. Gadis itulah yang akan membuatmu bahagia.”
Aku mencibir. Aku tahu sebenarnya ibuku tak punya kekuatan untuk meramal dan melihat masa depan itu atau untuk memutuskan hal-hal seperti ini. Ya, yang pasti kuketahui semua kejadian yang terjadi adalah karena kecerdasan ibu melihat dan menganilisis setiap hal yang dikeluhkan dari para pasien-pasiennya itu. Kira-kira ibu itu bisa dianalogikan seperti manajer yang menganalisis suatu persolan dan berusaha memecahkannya ketimbang menjadi seorang paranormal yang mampu melihat masa depan dengan kekuatan gaibnya. Tapi, ibuku kali ini berkata untukku bahwa perempuan yang baru saja pulang dari rumah itu, yang tak lain adalah seorang pelacur dari Warung Bulak Adem adalah calon istriku yang kelak akan melahirkan anak-anakku.
“Ibu tidak sedang bercanda kan?”
“Ibu tidak sedang bercanda, lilik. Kau dengarlah dulu ibu,” kata ibu terdengar seperti perintah. “Ibu berani bertaruh bahwa dia akan menjadi istri yang baik untukmu.”
“Tapi dia seorang pelacur bu!. Dia...” protesku tak senang.
“Kau jangan bicara lagi. Kata-katamu akan mengacaukan semuanya,” potong ibu, suaranya meninggi pertanda ia tak senang jika dibantah.
Namun setelah saat itu, beberapa kali kulihat perempuan itu datang lagi ke rumah. Ibuku menyambutnya dengan wajah yang gembira. Dan kurasakan memang ada yang berbeda dengan kegembiraan ibu ketika bersama perempuan itu.
Perempuan itu asalnya dari Trenggalek. Ia dijual oleh suaminya ke Warung Bulak Adem itu seharga satu sepeda bebek. Setelah itu ia aktif di tempat lokalisasi itu. Tapi, kata ibuku, perempuan ini berbeda. Istimewa. Ketika semua perempuan lacur di tempat lokalisasi Bulak Adem itu sudah dikuret rahimnya agar tidak hamil, hanya Maharani seorang, yang kata ibuku, gagal dikuret. Itu yang pertama menjadi kelebihannya.
“Apa ibu tak punya pilihan lain?” sindirku, berusaha untuk menyadarkan ibu dari keegoisannya itu.
“Ibu sudah bertaruh banyak untuk ini, Lilik. Kau tak akan kecewa.”
“Bagaimana kalau aku menolak, bu?”
“Ibu tak ingin kau menolak pilihan ibu kali ini. Kau juga tak berhak menolak. Demi ibumu ini, Lik. Ibu sudah bertaruh banyak. Ibu ingin kau bahagia dan ibu ingin kau menikahi gadis itu.”
Mungkin ibuku yang akan bahagia. Tapi dalam hatiku sendiri, aku tak yakin aku akan bahagia dengan mengawini seorang pelacur. Bukankah ada Aisyah anak pak Kyai yang manis itu. Atau si Lisa, anak pak kepala sekolah dasar di desa kami yang sudah semester akhir dan nanti akan lulus jadi guru. Tapi mengapa ibu malah memilih perempuan lacur yang pasti akan membuat cemar keturunanku nantinya.
Tapi hal itu juga tak berarti apa-apa untukku karena ibu akan melakukannya. Aku sendiri tak bisa melakukan apa-apa. Bukan karena aku bodoh, atau tak laku dengan gadis-gadis yang kusebutkan tadi. Tapi, ketika kau tengah berhadapan dengan takdir, kau memang tak bisa menolak bahkan sekedar memilih.
Pernikahan itu akhirnya dilaksanakan dengan cara sederhana. Aku menikah sebagaimana orang lain menikah. Namun saat malam pertama, terjadi suatu kejadian aneh padaku. Entah mengapa istriku yang mantan pelacur itu masih perawan dan selaput daranya berdarah ketika pertama kali kusetubuhi. Hal ini tentu membuatku terkejut. Istrikupun sama terkejutnya. Walaupun dalam hati ada terselip perasaan senang tak terkira.
Namun mungkinkah semua ini benar-benar sebuah kenyataan?
Esok itu setelah bangun segera aku mencari ibu. Aku ingin memberitahukan hal itu padanya dan mungkin ia punya penjelasan karena iapun seorang wanita.
“Bu, ada yang aneh bu....” kataku tergesa-gesa menghampiri ibu sedang duduk di depan jendela menghadap ke arah sinar matahari pagi yang cerah bersinar. Namun seketika aku terkesiap dan mundur ke belakang saat Ibu tersenyum padaku.
“Aku sudah melakukan apa yang bisa kulakukan untukmu. Aku tak menyesal telah melakukan ini, Lik,” katanya.
Ya, ada yang aneh dengan bola mata ibu. Keseluruhan mata hitam ibu berubah warna merah seperti terbakar. Persis seperti nyala gerhana matahari.
“Aku masih tak mengerti bu.”
“Kau menikmati malam pertamamu, bukan?”
Aku terhenyak. Bagaimana Ibu tahu. Apakah ini berarti...
Ibuku menjelaskan semuanya. Keinginan terakhirnya telah tercapai. Ia mempertaruhkan pupil matanya hancur menjadi buta untuk memberikan kebahagiaan untukku. Semua hal yang dilihatnya di masa depan yang ia katakan padaku katanya akan menjadi kenyataan. Bahwa aku akan bahagia dengan istriku yang sekarang, lain jika aku menikah dengan perempuan-perempuan lainnya di desaku ini.
*
Saat itu akupun masih tak percaya sebenarnya pada apa yang dikatakan oleh ibu. Namun sekarang, sepuluh tahun setelah itu, setelah ibu meninggal, aku merasa sebagian perkataannya memang benar terjadi –walaupun aku tetap tak percaya ibu bisa melihat masa depan.
Aku sekarang mempunyai enam anak yang montok dan sehat. Istriku kurasakan bertambah cantik setiap harinya, dan membuatku bertambah mencintainya dengan cara yang ajaib, yang tak akan bisa kujelaskan dengan satu kalimat panjang sekalipun. Dan beberapa gadis di desaku yang dulu amat menarik dan menonjol di desaku yang kukira aku akan memilih salah satunya, beberapa membuat sebuah jalan takdir yang berbeda. Si Lusi hamil sebelum menikah dan sekarang punya anak tanpa diketahui suaminya. Sedang si Aisyah, ternyata ia tak bisa hamil karena mandul.
Dari semua hal ini aku bisa mengambil hikmah, bahwa aku sendiripun tak tahu tentang masa depanku nanti. Aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti, empat atau lima tahun di depan. Takdir adalah ketetapan Allah. Pena telah diangkat. Tak ada yang dapat menambahi dan dapat mengurangi. Semua telah ditulis di Lauh Mahfuz. Dan aku bersyukur bila kenyataan memang tak selalu tepat seperti yang kita bayangkan.

Andri Saptono
Lahir 26 November 1983
Harakiri adalah Novel Terbarunya

0 komentar:

Posting Komentar