web 2.0

SEWAJARNYA AKU BERCERITA

Cerpen Didik Wahyu Kurniawan


Sewajarnya aku bercerita. Dia datang ketika itu membawa beberapa tumpuk kertas dan beberapa lembar uang seratus ribu. Dia bilang kalau dia sudah sukses nanti dia akan datang menemuiku dan memenuhi janjinya kepadaku. Tidak lama aku menunggu kedatangannya. Sebulan sebelum itu dia menelfonku. Katanya proyek yang diceritakan kepadaku sudah sukses. Sesingkat itu pikirku.
Memang ini proyek dadakan dan singkat. Sebenarnya proyek ini berlangsung selama tiga bulan beturut-turut. Total anggaran yang diceritakan kepadaku berkisar hingga mencapai angka 1 M. Fantastis! Tiga bulan 1 M. Mimpi apa dia hingga mendapatkan proyek sebegitu mudah dan besar. Sebentar. Aku mengatakan mudah. Memang ini proyek mudah. Sangat mudah sekali. Apalagi untuk sekelasnya. Dia sudah terbiasa menangani hal-hal semacam ini. Urusan seperti ini sudah tidak asing baginya. Maka tidak heran jika dia sudah bisa mencairkan dana tersebut hanya dalam waktu sebulan saja.

Sewajarnya aku bercerita. Aku masih ingat betapa bingungnya dia ketika pertama kali menerima tawaran proyek itu. Raut wajahnya sangat jelas sekali. Kalau soal menyembunyikan muka dihadapan orang lain dia sangat jago. Senyum tiada henti. Lain jika dia berhadapan denganku. Bukan sombong sih, tapi semua orang yang datang kepadaku tanpa ku suruh pasti dengan sendirinya mereka akan mengungkapkan uneg-uneg yang ada di hati. Kalau masalah bingung aku pikir sangat wajar. Status dia masih mahasiswa. Di sisi lain dia harus menyelesaikan studinya yang sebenarnya sudah molor beberapa tahun. Tapi sisi yang ini telah menggodanya. Sebelum ini dia sempat mengalami kasus yang cukup berat. Gagal menjalin hubungan dengan seorang wanita hanya karena statusnya sebagai mahasiswa yang tak kunjung selesai.

Sewajarnya aku bercerita. Apa yang ada di benaknya hingga dia berhasil menjadi seperti ini. Beberapa tahun tak terlihat, dia datang dengan menaiki sebuah mobil ber plat milik pemerintah. Mobil mewah itu lengkap dengan sopir dan pengawal pribadi. Hampir lima tahun dia sudah tidak berkunjung ke rumahku. Kontak telfon terakhir kali terjadi juga hampir lima tahun yang lalu. Saat itu dia bercerita tentang proyek lain setelah proyek 1 M nya berhasil. Semua sudah berubah pikirku. Awalnya aku pesimis dia bisa menyelesaikan proyek keduanya ini. Sangat besar. Menurutku tanggung jawabnya berat. Uang yang di dapat tidak sebanding dengan beban yang harus dia tangani. Tapi sekali lagi anggapan ku sangat salah. 

Sewajarnya aku bercerita. Kedatangannya ke rumahku kali ini mengagetkan beberapa tetanggaku. Bingkisan yang dia bawa kali ini lain. Dulu sekali, semasa kuliah dia hanya membayar hutangnya seratus ribu kepadaku. Sekarang dia membawa beberapa bungkus kado untukku dan keluargaku. Anakku mendapatkan satu unit sepeda motor matic terbaru. Senang sekali rasanya. Aneh, mengapa anakku yang masih berusia tiga tahun dibelikan sepeda motor. Katanya sepeda motor itu hanya mainan bagi kawanku ini. Semua sangat cepat berubah. Tak ku sangka kawanku yang satu ini bisa menanjak karirnya dengan sangat cepat.
Sewajarnya aku bercerita. Istrinya datang ke rumahku dengan menangis. Cerita yang ku dengar menyesakkan hati. Aku dan istriku turut bersedih mendengar berita yang dibawa istri kawanku itu. Dia bercerita kalau sekarang keamanan keluarganya sangat terancam. Terlebih keamanan suaminya. Dia masih merasa was-was walaupun sudah ada bodyguard yang menjaga suaminya. Semua penghuni rumah termasuk kedua anak-anak mereka selalu berada dalam pengawasan pengawal. Dia hampir stres menghadapi kondisi sulit ini. Posisi penting yang di duduki suaminya menjadi rawan. Rawan akan ancaman dan teror. Dering telefon di tengah malam sering mengganggu keluarga mereka. Dia sendiri heran mengapa suaminya enggan melepas posisinya sekarang. Jabatan ini memiliki harga yang cukup mahal. Dia sudah bosan memberikan pengertian kepada suaminya. Tapi suaminya sangat bersikeras. Dia capek mengahadapi suaminya. Dia meminta tolong kepadaku untuk memberitahu suaminya. Tapi aku berkata kalau aku ini rakyat biasa dan aku tidak berhak untuk meminta suaminya turun dari jabatannya sekarang. 

Sewajarnya aku bercerita. Telefon rumahku berdering tepat sekitar jam delapan malam. Hari Jumat pahing. Istriku yang mengangkatnya. Katanya dari istri kawanku. Ku terima. Isak tangis ternyata. Dia bilang suaminya ditembak orang tak dikenal di jalan sehabis main futsal. Dua pengawal pribadi dan sopirnya tewas di tempat diberondong senjata laras panjang. Beruntung suaminya hanya mengalami koma. Segera saja aku dan istriku berangkat ke rumah sakit di tengah kota. Dengan perasaan tak menentu aku hanya bisa mengucap doa dalam hati. Tak lupa ku minta istriku melakukan hal yang sama. Ku tancap gas mobilku. Kami berdua melaju menyusuri jalanan kota yang tak pernah sepi.

Sewajarnya aku bercerita. Televisi dipenuhi oleh berita seputar kampanye pilpres. Ketiga pasang calon merupakan orang-orang lama. Menurut kawanku dulu, Indonesia selamanya akan seperti ini. Tampu kekuasaan selalu dipenuhi oleh orang-orang dari generasi-generasi yang merasa mewarisi kekuasaan sebelumnya. Kawanku menyebut Indonesia dengan panggilan ‘republik keraton’. Dia berpesan kepadaku untuk jeli memilih siapa yang pantas untuk dijadikan presiden Indonesia mendatang. Dia sangat arif kepadaku walau sebenarnya aku tahu dia termasuk koordinator inti tim sukses salah satu pasangan calon. Aku hanya bisa berdoa. Berharap siapapun yang akan menjadi presiden Indonesia mendatang bisa menyelesaikan kasus pembunuhan kawanku ini.
Sewajarnya aku bercerita. Selamat jalan si Udin kawanku.


Didik Wahyu Kurniawan
Mahasiswa Etnomusikologi ISI Surakarta hampir saja menjadi sarjana.

0 komentar:

Posting Komentar